Sang Pencerah dari Kaki Bromo
Memasuki satu dekade kehadirannya, PKBM Wijaya Kusuma tak henti mengukir prestasi. Dari tingkat lokal hingga nasional. Buah dedikasi dan kesungguhan melayani mereka yang tertinggal dan tak terjangkau di kaki Gunung Bromo.
Waktu telah lewat tengah hari. Sudah jam 1 siang lebih, namun memasuki Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, suasana masih seperti pagi. Matahari menyembunyikan diri di balik selimut kabut putih. Diiringi gerimis, perjalanan berkendara dari Kota Pasuruan terus berlanjut melintasi jalanan yang basah dengan kontur berkelok-kelok, dan terus menanjak. Setelah sekitar 90 menit, akhirnya tiba juga di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Wijaya Kusuma. Hawa dingin langsung menyergap begitu tiba di gedung PKBM yang terletak di pinggir jalan Dusun Kertoanom, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, akhir Desember lalu.
Berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl), Tosari menjadi kecamatan tertinggi di Jawa Timur. Tak heran, suhu terendahnya bisa setara dengan suhu freezer kulkas karena mencapai 5 derajat Celsius. Belum lagi suhu harian yang berkisar 18 derajat Celcius sudah membuat cuaca selalu berkabut hampir setiap waktu dari pagi hingga malam. Dari arah Pasuruan, Tosari adalah salah satu pintu masuk menuju obyek wisata internasional, Gunung Bromo (2.392 mdpl).
Mayoritas penduduk Tosari adalah Suku Tengger, suku asli yang mendiami lereng Gunung Bromo, dan Gunung Semeru. Mereka tersebar di empat kabupaten yakni Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan Malang. Lazimnya kawasan di kaki gunung yang dikaruniai lahan subur karena guyuran abu vulkanik ditambah sumber air melimpah dan iklim yang sejuk, Tosari juga serupa. Alhasil, mayoritas warga Tosari menggantungkan hidup dari bercocok tanam di lereng Bromo. Ragam tanaman sayuran yang cocok dengan iklim berhawa dingin banyak dibudidayakan di sini. Seperti kentang, kol, dan bawang prei atau bawang daun. Sebagian lainnya berprofesi di sektor wisata sebagai supir jip, pemandu wisata lokal, pengelola penginapan (homestay), pengelola warung makan, penjual souvenir khas bromo, dan pemilik kuda tunggang.
Alam yang subur dan berada di lokasi tujuan wisata internasional memudahkan warga setempat untuk mendulang rupiah. Mudahnya meraup penghasilan di sini akhirnya mempengaruhi pola pikir warga setempat terhadap pendidikan. Bersekolah atau menempuh pendidikan praktis bukan prioritas utama warga setempat untuk masa depan anak-anak mereka.
“Banyak orangtua dan anak-anak mereka yang merasa sekolah tinggi bukan prioritas karena terlampau mudah mencari uang di sini, mereka mengandalkan lahan pertanian dan sektor wisata, sehingga rata-rata pendidikan di kecamatan Tosari hanya sampai pada jenjang SMP” ujar Lilik Indahyani, Ketua PKBM Wijaya Kusuma.
Di sisi lain, kondisi geografis yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung membuat lokasi delapan desa dan 86 dusun di Tosari tersebar. Ini membuat fasilitas pendidikan tak merata di semua desa. Hingga akhir 2019, hanya SD yang jumlahnya terbilang cukup. Total ada16 SD negeri yang berada pada semua desa di Kecamatan Tosari. Untuk jenjang pendidikan menengah, Tosari memiliki empat SMP Negeri saja di empat desa dan satu SMP Swasta. Sedangkan hanya ada dua SMA (satu SMA negeri dan satu SMA swasta) di satu desa. Jauhnya jarak menuju SMP/SMA terdekat inilah yang memicu terjadinya siswa putus sekolah. Rupanya sebagian dari mereka yang putus sekolah ini beberapa tahun kemudian menjadi perangkat desa.
“Banyak warga yang tidak lulus SD, SMP, atau SMA, tapi menjabat perangkat desa,” kata Lilik.
Lantas pada tahun 2009 muncul peraturan yang mewajibkan perangkat desa memiliki ijazah.
Mereka yang tak berijazah kemudian berbondong-bondong mengikuti pendidikan kesetaraan di Kejar Paket C Bina Wiyata di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Tosari, dimana Lilik menjadi salah satu tutornya.
“Ada kades dan sekdes dari empat desa yang ikut. Tosari, Sedaeng, Ngadiwono, dan Mororejo” lanjut alumnus Sekolah Tinggi Bahasa dan Sastra (STIBA) Malang ini.
Saat itu juga terbit aturan yang mengizinkan PKBM menggelar ujian Paket C. Situasi ini menginspirasi Lilik untuk mendirikan PKBM. Segera setelahnya, PKBM mulai menggelar program Paket C yang diikuti perangkat desa, pegawai sekolah, atau PNS. Hingga tahun 2014, PKBM telah mengantar puluhan perangkat desa meraih ijazah Paket C. Dalam perkembangannya, peserta didik Paket C juga datang dari anak-anak yang putus sekolah. Termasuk pelaksanaan program Paket C Vokasi pada tahun 2017 dalam bidang pengolahan hasil pertanian (PHP), diantaranya membuat aneka roti dan minuman khas Tengger, dilanjutkan tahun 2018 yang memberikan pelatihan keterampilan pembuatan keripik kentang dan boneka flanel kepada peserta didik. Pada tahun 2019 bekerjasama dengan BLK Propinsi Jawa Timur mengadakan pelatihan menjahit. Di tahun yang sama PKBM Wijaya Kusuma juga melaksanakan program PKK-C dengan memilih jenis keterampilan bahasa Inggris. Tidak hanya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi peserta pelatihan juga mendapat sertifikat keterampilan setelah mengikuti uji kompetensi dan dinyatakan lulus.
Kendala geografis tak hanya menyebabkan anak putus sekolah di jenjang pendidikan formal. Buta aksara pun merebak di pelosok desa yang terpencil.
“Kalau hanya lihat dari luar, memang tak kelihatan. Tapi, kalau kita lihat sampai pelosok dusun yang sulit terjangkau, masih banyak warga buta aksara. Mereka hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa dan bahasa Tengger,” ungkap Lilik.
Dalam catatan Lilik, ada sekitar 35 persen atau sekitar 1.120 jiwa dari total penduduk Tosari sebanyak 3.200 jiwa yang buta huruf. Rata-rata berumur di atas 45 tahun. Hanya sekitar 5 persen penduduk buta aksara yang berumur di bawah 45 tahun. Kantong buta aksara ini berada di Desa Sedaeng, Podokoyo, Ngadiwono, Mororejo, dan Kandangan.
“Usianya sepuh-sepuh seperti bapak saya,” tambahnya.
Sejak tahun 2012, PKBM mulai melaksanakan program penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Dasar (KD) di Desa Sedaeng. Ada 35 kelompok belajar dengan total 350 warga belajar (WB) buta aksara. Setahun berikutnya, PKBM melaksanakan program KD untuk 15 kelompok belajar berjumlah 150 WB di Desa Ngadiwono.
Peran PKBM dalam penuntasan aksara kian meningkat pada tahun 2014. Saat itu, Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf mencanangkan program percepatan pemberantasan buta aksara. Bupati menetapkan target tiga tahun untuk membebaskan 37.531 warga buta huruf menjadi melek aksara. Berbagai pihak dilibatkan dalam program tersebut. Di antaranya, PKBM, PKK, Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, dan PGRI. Dari total 27 PKBM yang dilibatkan, salah satunya adalah PKBM Wijaya Kusuma.
Pasuruan juga menggandeng BP-PAUD dan Dikmas Jawa Timur melalui pemakaian model pembelajaran keaksaraan Batung Bingar. Model yang telah diterapkan di Pasuruan sejak tahun 2012 ini memuat metode belajar cepat dan inovatif. Warga buta huruf dapat melek aksara dalam tempo 12 hari belajar intensif dengan durasi belajar empat jam per hari.
Lilik menjelaskan, pihaknya mendapat alokasi 30 kelompok belajar atau setara dengan 300 warga belajar di dua desa yakni Sedaeng dan Mororejo. Jumlah ini mencapai sepertiga dari total warga buta aksara di Tosari sebanyak 921 orang. Selanjutnya, pada tahun 2015, PKBM melaksanakan program KD terhadap 200 warga buta huruf di Sedaeng.
Pembelajaran keaksaraan, tambah dia, dilaksanakan PKBM di berbagai tempat di desa. Seperti rumah tutor, balai desa, atau tempat ibadah. Bertindak selaku pengajar adalah tutor dari PKBM yang dibantu tutor lokal dari warga desa setempat yang berprofesi sebagai tutor PAUD atau guru SD. Pembelajaran menggunakan kombinasi Bahasa Indonesia dan bahasa lokal.
“Warga belajar itu senang sekali dikunjungi. Ketika saya menunjukkan kartu huruf dan kartu angka yang saya bawa, ada senyum mereka. Ini memberikan kepuasan batin tersendiri buat saya. Secara mental ini memberi semangat Jadi, rasanya kami datang bisa menghibur mereka,” ucapnya dengan wajah berseri-seri.
Pada tahun 2016, PKBM kembali dipercaya melaksanakan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) untuk pelestarian aksara peserta didik. Selain pendidikan keaksaraan, diberikan pula pelatihan keterampilan yakni budidaya kentang dan pembuatan boneka. Sebanyak 150 warga belajar mengikuti program KUM yang bertempat di Sedaeng.
Seiring berjalannya waktu, upaya percepatan penuntasan buta huruf di Pasuruan membuahkan hasil signifikan setelah memasuki tahun keempat. Dari total 37.000 warga buta huruf di tahun 2013, pada tahun 2017 tersisa 3.000 orang buta huruf. Artinya, sekira 90 persen atau sekitar 34.000 warga buta aksara telah melek huruf. Atas pencapaian ini, Bupati Pasuruan meraih Anugerah Aksara Madya dari Mendikbud Muhadjir Effendy.
Sejalan dengan hal tersebut, Lilik terus melanjutkan program serupa di Tosari. Kali ini, dia mengakses dua program keaksaraan sekaligus dari Ditjen PAUD dan Dikmas pada tahun 2017. Program KUM untuk masing-masing 150 peserta didik di Sedaeng dan Mororejo dengan pelatihan pengolahan hasil pertanian. Program lainnya adalah KD untuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) terhadap 100 warga buta huruf di Podokoyo.
Kegiatan pelestarian aksara kembali dilangsungkan PKBM pada tahun 2018 melalui program KUM KAT terhadap 100 warga belajar di Podokoyo. Kali ini Kepala Desa (Kades) Podokoyo, Edi Priyanto berperan aktif dalam pelaksanaan program tersebut. Edi selaku tokoh adat Suku Tengger itu menggerakkan warganya yang buta huruf untuk mengikuti pendidikan keaksaraan oleh PKBM. Tak hanya itu, istrinya pun ikut turun tangan dengan menjadi tutor keaksaraan.
Jika dikalkulasi dalam kurun 2012-2018, sudah 1.650 warga Tosari yang berhasil melek aksara berkat aksi nyata PKBM. Peran PKBM ini dirasakan betul oleh Liin (51), salah satu peserta didik keaksaraan binaan PKBM dari Podokoyo. Sebelumnya, ia sama sekali tak bisa membaca, menulis dan berhitung karena tak pernah sekolah. Liin tergolong buta huruf murni. Kondisi ini menyulitkan Liin karena sehari-hari ia mengelola warung sambil melayani jasa reservasi wisata di rest area Tosari. Praktis, Liin hanya bisa berkomunikasi lisan via telepon. Padahal, para wisatawan sering menyampaikan order melalui aplikasi percakapan Whats App (WA).
“Saya bisanya cuma telepon, belum bisa ketik pakai WA itu,” ujar ibu dua anak tersebut.
Untuk mengatasi persoalan ini, Liin selalu meminta bantuan anaknya untuk mencatat order jip wisata, katering dan lainnya dari wisatawan.
Dalam sebuah kesempatan, Liin berjumpa dengan Lilik yang lantas mengajaknya mengikuti program pendidikan keaksaraan yang digelar PKBM.
“Saya sampaikan, kalau nggak bisa nulis, nggak bisa layani (order) tamu,” kata Lilik.
Atas dukungan suami, dan anak, Liin pun mengikuti pendidikan keaksaraan yang digelar PKBM di Podokoyo pada tahun 2016.
Menurut Lilik, Liin sangat tekun dan bersemangat selama mengikuti pembelajaran. Tak heran, dalam tempo enam bulan saja, Liin sudah menguasai baca, tulis, dan hitung.
“Pencapaiannya lebih cepat dibanding lainnya,” lanjutnya.
Bak adagium usaha tak akan mengkhianati hasil, dedikasi PKBM selama bertahun-tahun berbuah manis. Dalam dua tahun beruntun, PKBM menorehkan prestasi nasional di bidang keaksaraan. Pada tahun 2018, Mendikbud Muhadjir Effendy memberikan Penghargaan Tokoh Adat Pendukung Pendidikan Keaksaraan Pada Komunitas Adat Terpencil, kepada Edi Priyanto. Apresiasi itu diberikan pada puncak peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) Tingkat Nasional di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Berselang setahun, giliran Liin, warga belajar PKBM yang meraih juara pertama Apresiasi Keberaksaraan Peserta Didik Pendidikan Keaksaraan Dasar Tingkat Nasional tahun 2019. Penghargaan ini juga diserahkan Mendikbud Muhadjir Effendy pada puncak peringatan HAI Tingkat Nasional di Makasar, Sulawesi Selatan.
“Penghargaan ini membuat pendidikan non formal di PKBM tidak lagi dipandang sebelah mata oleh lembaga pendidikan formal. Selama ini (PKBM) disepelekan karena dianggap sebagai lembaga pencari bantuan saja,” tegas Lilik.
Selain itu, tambah Lilik, pencapaian ini juga pembuktian kepada masyarakat jika mereka memiliki lembaga pendidikan non formal yang berkualitas.
“Paling tidak ada pengakuan ke masyarakat, bahwa Tosari punya lembaga yang kredibel,” pungkasnya.
Berbagai pencapaian yang telah diraih PKBM makin meneguhkan tekad Lilik untuk terus mengabdi pada dunia pendidikan non formal. Demi membangun masyarakat yang lebih baik dengan bekal pendidikan.
M. Subchan Sholeh
Ary Widyastuti